top of page

KISAH KITA

Writer's pictureSicika

Saya Pernah Depresi



Selama enam bulan terakhir ini, saya terlibat di sebuah komunitas yang menangani kesehatan mental. Isu depresi, kesehatan mental, bunuh diri adalah hal yang sangat akrab di telinga kami. Pada awal pembentukan tim komunitas ini, kami dipersilahkan untuk menceritakan pengalaman depresi masing-masing. Maaf, jujur saja, ini menyakitkan bagi saya. Saya bukanlah orang yang mudah percaya dengan orang baru (meskipun saya pernah ditipu oleh orang yang baru saya kenal) kemudian tiba-tiba saya disuruh untuk cerita pengalaman depresi saya? Yang benar saja. Akhirnya saya memilih untuk tidak bercerita. Untuk saat itu saja.


Kalau ditanya apakah saya pernah mengalami depresi, tentu saja jawabannya pernah.

Kalau ditanya apakah saya pernah menceritakan pengalaman depresi saya pada orang lain? Tentu saja saya pernah bercerita kepada orang-orang (yang menurut saya) dekat.

Tidak pernah terbesit bahwa suatu hari akan ada orang-orang yang mengirimkan tulisan melalui surel komunitas kami dan menceritakan pengalaman depresi mereka. Kisah tentang seorang remaja yang berencana bunuh diri karena dikucilkan kakaknya sendiri. Kisah tentang seorang wanita karir berusia 35 tahun yang membawa racun tikus di dalam tasnya (supaya sewaktu-waktu bisa ia telan) karena banyak yang menganggapnya tidak laku.

Mungkin, keterlibatan saya di dalam komunitas ini menjadi petunjuk bahwa saya harus berdamai dengan depresi saya.


Menjelang triwulan akhir tahun 2013, bersamaan dengan Orientasi Diponegoro Muda (sebutan untuk program ospek Universitas Diponegoro), saya mengalami depresi itu.

Depresi ini muncul atas kekagetan terhadap situasi yang belum bisa saya terima seutuhnya sebagai bagian dari anggota keluarga. Saya teramat membenci diri saya. Masa adaptasi sebagai mahasiswa baru tak hanya dihabiskan dengan menjelajahi kampus baru tetapi juga dengan menyalahkan diri sendiri. Menghabiskan waktu seharian dengan mengunci kamar, tanpa membuka bendela, sambil menangis. Menulis “SAYA MANUSIA TERBODOH DI KELUARGA SAYA” di buku harian adalah hal yang tidak bisa saya hentikan. Terkadang saya juga tidak peduli apa yang sudah saya makan hari itu. Yang jelas, saya kecewa terhadap diri saya sendiri.


Di kampus, saya terlihat sebagai orang normal. Mengikuti kuliah dengan tepat waktu, bersosialisasi dengan teman di kampus, tetapi ketika saya menapaki kos, seketika dunia menjadi berbeda. Saya tenggelam bersama kenyataan pahit itu. Selain rutin mengompres mata saya yang membengkak akibat terlalu banyak menangis, saya pun mulai mencari obat penenang. Tidak ada yang tahu kondisi saya saat itu. Pernah suatu hari teman kos saya bertanya “Kenapa matamu bengkak sekali?”, saya hanya berujar sekenanya “Saya kangen Ibu, homesick.”


Satu semester berlalu.

Saya dinyatakan lulus di semua mata kuliah yang saya ambil. Kondisi saya kian membaik ketika saya mulai mengurangi sifat saya yang pemurung. Saya mulai mengenal duna luar, lebih banyak menghabiskan waktu di luar, salah satunya dengan membuat Program Kreativitas Mahasiswa.

Mungkin saya tidak akan pernah bercerita secara detil tentang apa yang membuat saya begitu depresi.

Melalui komunitas yang saya ikuti, tiap bulannya saya menerima 3–5 surel dari berbagai macam orang yang memiliki gangguan mental. Ada banyak yang kondisinya lebih parah dari yang saya alami sebelumnya.


Beruntungnya, mereka memilih untuk percaya, menceritakan masalah tersebut secara rinci kepada orang lain yang sama sekali belum pernah dikenalnya.

Saya adalah orang yang tidak bisa jauh-jauh dari tulisan. Tulisan seakan menjadi napas bagi saya tetapi (saat saya mengalami depresi) tidak pernah terpikirkan bagi saya untuk menceritakan hal itu kepada orang lain, atau dalam kasus ini adalah komunitas penyedia jasa self-healing.


Hingga bulan keenam, saya menemukan mereka yang dulunya pernah berniat bunuh diri, sekarang tidak lagi. Mereka aktif membagikan ‘kepulihan’ mereka kepada kami. Mungkin belum semuanya yang sudah pulih dari masa depresi itu tapi setidaknya, mendengar salah satu atau dua dari mereka yang sudah berhasil melewati fase penyembuhan itu membuat saya tersadar bahwa yang saya anggap sepele (penyedia jasa konsultasi itu, mereka yang belum saya kenali) ternyata memiliki dampak yang berarti bagi orang lain.


Melalui tulisan ini, saya ingin memperkuat diri saya untuk tidak berlama-lama menjadi lemah. Saya bisa menjadi orang yang tegar di setiap waktu. Saya pantas untuk mendapatkan kebahagiaan. Saya tidak harus merasa malu pada orang lain saat saya pernah terkena depresi.

Depresi adalah hal yang normal bagi orang yang ingin hidupnya normal.

Depok, 19 September 2017. @gitaswati

3 views0 comments

コメント


bottom of page