top of page

KISAH KITA

Writer's pictureSicika

Sepersekian Detik



Sepenggal kisah dari hari yang telah berlalu. Membekas dan meninggalkan segala asumsi berkonotasi negatif. Menyakitkan dan menyebabkan diri ini ingin terisak seorang diri di sepinya malam. Pahamilah, sepersekian detik pada waktu itu benar-benar terus membayang di pikiran saya hingga saat ini. Sadarilah, sepersekian detik yang tak berarti bagi tuan itu meninggalkan berjuta tanya bagi saya.


Saya tahu betul, pandangan mata saya pada saat itu bukannya tak berbalas. Ketika seseorang asing memanggil nama tuan, membuat saya seketika mencari sosok tuan. Kala itu, saya yakin betul mata kita sempat bertemu. Sepersekian detik.


Ada satu hal dalam sepersekian detik tersebut yang sulit untuk saya ceritakan pada orang lain. Tentang hal yang membuat kaki saya lemas seketika. Tentang hal yang membuat buliran air mata saya merebak tak tahu malu.


Dalam sepersekian detik tersebut, tak ada senyuman khas milik tuan yang selalu menenangkan. Menyenangkan.


Sesederhana itu. Semenyakitkan itu.


Segala jawaban yang saya asumsikan masih diawali dengan kata mungkin. Segalanya masih terlalu abstrak. Mungkin bukan saya yang tuan harapkan untuk berdiri di sana. Mungkin tuan memang enggan untuk bertemu dengan saya, pun hanya sekadar memberikan seulas senyuman kala tanpa sengaja bertatap muka. Atau mungkin tuan sudah muak. Entah, saya sendiri tidak memiliki jawaban konkret untuk kisah sepersekian detik tersebut.


Bagaimanapun seharusnya saya tahu, bahwa mengagumi tidak selayaknya didasari dengan perasaan suka. Pun diselingi rasa rindu.


Seharusnya saya paham, bahwa sejak awal saya tidak perlu ada di sana.


Seharusnya saya mengerti, sudah ada orang lain yang tuan harapkan ada pada hari itu dan saya tahu pasti orang tersebut bukan saya.


Setelah kejadian sepersekian detik tersebut, salah seorang rekan saya berkata untuk segera beranjak pergi dari lara atas rasa kagum ini. Apa salahnya melihat untuk terakhir kalinya? Kalimat itu yang seketika saya ucap. Entah, saya tidak tahu pasti proses berpikir seperti apa yang membuat kalimat tersebut keluar dari mulut saya. Yang saya tahu, memang itulah yang menjadi tujuan saya berdiri di sana sejak pagi. Melihat tuan, mungkin untuk terakhir kalinya.

Segalanya sudah terjadi. Tak mungkin diulang, tak ada yang dapat menggantinya, tak ada yang perlu disesali.


Terima kasih untuk sepersekian detik yang kemudian menimbulkan banyak spekulasi dalam benak saya. Mungkin sepersekian detik tersebut akan menjadi pertemuan kita yang terakhir. Atau mungkin saat kita bertemu kembali kelak, tuan sudah lupa bahwa kita pernah saling bicara, pernah saling menyapa.


Sekali lagi, terima kasih untuk sepersekian detik yang telah diberikan.


------------------------------

-Author haloassyifa.wordpress.com, Assyifa.

@assyifw

2 views0 comments

Commentaires


bottom of page