top of page

KISAH KITA

Writer's pictureSicika

Andai Dia Tahu



Dear, Kakak Kelas.

Tidakkah kau tahu? Waktu itu aku adalah adik kelas dua tahun di bawahmu. Aku masih polos dan lugu. Baru saja menempati sekolah baru. Sekolah yang aku idam-idamkan sedari dulu. Kau itu seorang mentor kala Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk angkatanku dilaksanakan. Sayangnya bukan mentorku, mentor kelasku lebih tepatnya. Itu kata temanku yang kelasnya dimentor olehmu.


Tidakkah kau tahu? Pertama kali aku melihatmu ketika kau berjalan di lorong di samping kelasku. Sebuah paras menggemaskan menyusuri lorong tersebut sembari menyisir pandangannya ke arah kelasku. Langkahmu tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat. Namun langkah besar itu berhasil membuatmu hilang dari penglihatanku. Membuat rasa penasaran tumbuh di dalam benakku.


Tidakkah kau tahu? Saat upacara penutupan MOS berlangsung, pandanganku mengabsen satu persatu kakak-kakak MOS yang berada di depan hanya untuk mencari seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah dirimu. Tak lama mataku mendapatkan apa yang dicari dan seketika langsung menguncinya seolah-olah kau itu adalah target. Tingkahmu konyol waktu itu. Kepribadianmu tampak seperti orang yang humble serta disukai oleh semua orang. Dan ternyata memang benar adanya.


Tidakkah kau tahu? Aku memiliki rival dalam lingkaran pengagummu. Rival itu adalah seorang teman dekat yang sudah menjalin pertemanan denganku sejak berada di bangku taman kanak-kanak. Semua tampak biasa saja memang di antara kami berdua. Tapi tidak dengan hatiku. Aku terlalu takut jika ia mendahului jalanku. Ia memiliki peluang tinggi untuk bersamamu. Ia lebih mengenalmu dibanding aku. Tentu ia memiliki semua itu. Secara ia adalah salah seorang siswi yang kelasnya di mentor olehmu sewaktu MOS.


Tidakkah kau tahu? Senang bukan main ketika mengetahui rumahmu berada dalam satu perumahan dengan rumahku. Hingga suatu hari pun tiba. Sekumpulan remaja laki-laki memasuki daerah masjid tempat aku melaksanakan shalat Tarawih. Jumlahnya berkisar empat orang. Aku telah menduga salah satu dari mereka yang ternyata benar saja itu dirimu. Ketiga lainnya aku masih menebaknya saja pada awalnya. Namun usai kalian melaksanakan shalat Isya dan pergi meninggalkan masjid, aku yakin mengenali ketiga sosok tersebut yang adalah teman-teman seperkumpulanmu di sekolah. Sejak saat itu aku selalu bersemangat tiap ingin melaksanakan shalat tarawih.


Tidakkah kau tahu? Tak segan-segan langkah kaki ini ku ayunkan demi sampai ke masjid. Diriku selalu mengambil tempat di bagian luar agar aku dapat melihat sosokmu. Tapi tenang saja, tak sepenuhnya aku datang kesana hanya untuk melihat dirimu. Niatku masih sama, melaksanakan shalat tarawih seperti biasanya. Rasa semangatku saja yang agak sedikit berbeda. Ketika adzan berkumandang, sesosok laki-laki berbalutkan gamis berwarna abu kecoklatan melewati trotoar menuju masjid sembari menata peci di kepalanya dengan rapih. Langsung saja aku menyenggol tetangga yang sebaya denganku di samping untuk memberitahu akan kedatanganmu. Kali ini kau datang tanpa teman-temanmu. Hanya dirimu seorang.


Tidakkah kau tahu? Zaman itu Facebook masih menempati posisi teratas dalam media sosial yang paling banyak dikunjungi. Dari mulai nama alay hingga nama normal semuanya sudah pernah ku gunakan pada akun Facebookku. Mengetikkan sebuah nama di pencarian, profilmu muncul setelah sebuah roda berputar statis di pojok pencarian. Fotomu dan teman-temanmu dengan pakaian pramuka terpampang jelas pada laman. Namun pakaianmu sedikit berbeda dari yang lainnya. Kau menambahkan sebuah jaket jeans menutupi baju berwarna coklat muda yang melekat pada tubuhmu. Tanpa pikir panjang, aku menekan tombol ‘add’ pada profilmu. Aku pernah melakukan hal konyol padamu. Setelah dirimu menerima pertemananku, aku langsung mengirimimu sebuah pesan yang bertuliskan “Makasih ya, kak, udah di accept.”. Mengingatnya terkadang aku mengdikkan bahuku refleks. Mengapa aku bisa semenjijikkan itu dulu?


Tidakkah kau tahu? Aku lagi-lagi melakukan hal konyol terhadapmu. Ingat seruan seseorang yang pernah memanggil namamu seusai shalat tarawih? Aku yakin kau mengingatnya karena kau terlihat bingung menanggapinya. Aku awalnya hanya berkata pada tetanggaku apa ia berani memanggilmu atau tidak. Dan ternyata ia benar-benar melakukannya. Kami berhasil membuatmu menoleh ke belakang. Kau mengedarkan penglihatanmu untuk berusaha mencari sumber suara. Wajar, sebab di tempat itu memang minim akan pencahayaan. Kau mulai mengarahkan pandanganmu pada kami. Kau cukup bersusah payah melakukannya dengan menyipitkan kedua mata sembari mengerutkan dahi. Aku dan tetanggaku mengalihkan wajah kami ke arah lain seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Sekarang kau mengetahuinya. Itu aku.


Tidakkah kau tahu? Aku ingat pernah ada suatu kejadian dimana itu terus menerus membuatku merasa bersalah padamu. Waktu itu kau pernah mendapatkan pesan buta, bukan? Tidak tahu siapa pengirimnya. Hanya mengatasnamakan teman dari seorang siswi yang kelasnya kau mentori dahulu. Kau nampak kesal membalasnya terlihat dari tiap kata yang tertera. Pun hal yang sama terjadi padaku. Yang harus kau ketahui adalah itu bukanlah diriku. Seorang teman memberikanku sebuah nomor telepon dan mengatakan bahwa itu adalah nomor milikmu. Dengan raut wajah bahagia otomatis aku menyimpannya. Tidak pernah ada niatan untuk menjahilimu atau apapun dalam benakku. Aku berani bersumpah. Temanku yang memberi nomormu waktu itu meminjam ponselku. Ia berkata bahwa ia ingin bermain game atau melihat isi galeriku, entahlah aku tidak terlalu peduli. Tepat disaat ia mengembalikannya padaku, sebuah pesan masuk tertera pada layar dan pengirimnya bertuliskan namamu. Sontak aku membelalakkan mataku dan melihat seluruh pesan yang telah terkirim untukmu. Aku benci. Aku sangat kesal. Aku benar-benar marah pada temanku. Aku berusaha mengirim pesan permintaan maaf padamu dan mengungkapkan identitasku. Namun apalah daya, kau tidak membalasnya. Aku terus mengirimi pesan permintaan maaf padamu dan selalu berakhir sama. Tidak ada jawaban darimu. Situasi antara aku dan temanku pun memburuk. Tapi seiring berjalannya waktu kami saling melontarkan permintaan maaf satu sama lain. Anehnya, entah mengapa di antara kami berdua seperti masih selalu saja ada tembok penghalang hingga detik ini. Meski telah bermaafan secara empat mata, sepertinya hati kami menolaknya mentah-mentah. Aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara kami.


Tidakkah kau tahu? Kau telah mendapat predikat sebagai alumni waktu itu. Aku hanya bisa memberikanmu ucapan selamat dari kejauhan. Sangat jauh sampai kau tidak pernah tahu jika ucapan dariku itu ada. Sedih bercampur bangga ku luapkan hanya tentang kelulusanmu. Tak akan ada lagi seseorang yang biasanya jadi pusat pandanganku di sekolah. Tak ada lagi permainan basket yang menjadikanmu sebagai sang kapten di sekolah. Tak ada lagi tawa hangatmu yang selalu terdengar menawan di telingaku.


Tidakkah kau tahu? Aku seorang stalker yang handal. Berjam-jam lamanya bisa ku habiskan hanya untuk menguntit media sosialmu. Sebuah foto dirimu dengan seorang perempuan pada akun Instagrammu membuat jantungku seolah berhenti sepersekian detik. Tidak, itu bukanlah ibumu atau adik perempuanmu. Aku mengetahuinya persis. Aku cemburu meski aku tahu aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah sebutir pasir di luasnya hamparan padang pasir. Esoknya, temanku memberitahuku bahwa kau telah memiliki seorang kekasih. Apa kubilang! Foto itu memang kekasihmu. Ku lihat ia memang terlampau cantik dan anggun. Sangat berbeda 180 derajat denganku yang tidak ada cantik-cantiknya dan begitu berantakan. Aku tahu hal itu akan terjadi. Siapa wanita yang tidak akan terpikat oleh seorang makhluk sesempurna dirimu?


Tidakkah kau tahu? Sekarang kita sama-sama sudah menginjakkan kaki pada jenjang pendidikan sekolah tinggi. Kini aku berada satu tahun di bawahmu. Kelas percepatan di SMA membuatku menjalani jenjang tersebut hanya selama dua tahun saja. Aku selalu menunggu bila-bila ada sedikit kabar darimu. Tentang dimana kau berkuliah. Tentang jurusan apa yang kau ambil. Tentang siapa wanita beruntung yang sekarang sedang menjadi kekasihmu. Juga tentang kehidupanmu yang lainnya. Suatu hari ada seorang malaikat yang mengantar pesan baik untukku. Temanku seperti ditakdirkan mengabulkan setitik harapanku mengenai kabar darimu sekarang ini. Ia berkata bahwa ternyata sekian lama ia baru menyadari bahwa ia sebenarnya saudaramu. Terlihat ketika ia pergi ke suatu pernikahan keluarga yang terdapat dirimu serta keluargamu disana. Kabar baik lainnya adalah bahwa ternyata dirimu juga berada satu kota denganku meski berbeda universitas. Rasa senang menyelimutiku kala itu. Aku lalu memintanya untuk menyampaikan salamku untukmu. Dengan satu pengecualian. Jangan pernah menyebut namaku, jangan sebut siapa si pengirim salam itu. Biarkan aku selalu jadi penggemar rahasiamu saja.


Tidakkah kau tahu? Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Namamu selalu terukir dalam perjalananku, perjalanan hidupku. Entah mengapa seperti aku selalu saja mempersiapkan sebuah tempat kecil nan rapih di pojok hatiku hanya untuk dirimu. Meski dari kejauhan, aku tetap bahagia. Meski tujuanku tak kunjung tercapai, aku tetap setia. Meski berkelana hingga ke Negeri Cina, kau tetaplah seseorang itu. Seperti inikah rasanya menjadi seorang penggemar rahasia? Selalu dihiasi pelangi meski harus menghadapi badai. Selalu terngiang dalam benak meski tidak memiliki.


Aku penasaran apa hari esok akan berbaik hati padaku atau malah sebaliknya. Hanya sebuah pertanyaan singkat yang ingin ku berikan padamu hari ini,

apa kabar, Kakak Kelasku?




Cilegon, 2017

Pengagum Rahasiamu,

W.


-Author namelesswilds

5 views0 comments

Comments


bottom of page