top of page

KISAH KITA

Writer's pictureSicika

Dunia Seorang Pemimpi

Updated: Nov 28, 2018


Saat Sang Fajar muncul dan mengelus pipiku yang hangat terkena sinarnya, aku dibuat nyaman. Liciknya, kenyamanan itu membuatku terjerumus gravitasi kasur yang hampir berhasil membuat diriku, bocah SMA, tak ingin beranjak mandi. Tiba-tiba kibasan tangan ditambah teriakan Sang Ratu yang galak membuat saraf otak menjadi sadar namun mengeluh lantang yang selalu berhasil membuat Sang Ratu naik pitam. Namun di sisi lain, Sang Ratu selalu berhasil membuatku nyaman, dengan hidangan yang ia buat sepenuh hati.


Saat senja menjulang di langit, tak pernah terlewat suara klakson mobil yang bertahun-tahun aku dengar, menunggu untuk dibukakan pintunya. Kadang aku senang menyambutnya, kadang aku kesal membukakannya karena butuh usaha. Sang Raja akhirnya pulang, selalu dengan baju kantorannya yang khas, baju putih, celana bahan hitam, pin perusahaan tertempel di saku, dan tanda pengenalnya. Sang Raja tidak pernah lupa membuat Sang Ratu dan aku bahagia dengan bawaannya. Namun, lagi-lagi, sisi lain Sang Raja tentu menunjukkan ketegasannya dan amarah padaku. Dibuatku takluk pada perintahnya.


Rasanya hidup itu seperti baru kemarin. “Baru kemarin”, aku dilimpahkan rasa senang luar biasa untuk hari-hari baruku yang berjalan. “Baru kemarin”, otakku mengeluh habis-habisan terhadap satu per satu tanggung jawab yang menumpuk. “Baru kemarin” pula, duniaku satu-satunya berasa digoncangkan oleh hantaman kenyataan pahit. Rasanya masih terasa baru, tapi membekas layaknya luka beribu tahun.


Dalam satu tahun dengan lingkungan baruku, terhitung jari aku menatap muka kedua orangtuaku. Menatap seperti apa mereka yang aku pikir baik-baik saja. Menatap seberapa bahagianya mereka tak ada aku di rumah karena selalu membuat keributan. Aku dibuat egois dengan asumsiku sendiri atau mungkin hanya betapa pengecutnya diriku yang pergi tak ingin menemani mereka dalam kesusahan.


Ayah semakin lemah dari hari ke hari. Beranjak ratusan kilometer untuk menyambung hidupnya memerangi penyakit yang hampir seperempat abad ia miliki. Ibu setia menemani ayah kemana saja, mengabulkan semua permintaannya. Saat bertemu, ayah hanya melontarkan titipan-titipan hidup untukku, untuk selalu ingat dan menjaga ibu. Seraya harapnya terucap, istanaku terasa digoncang runtuh oleh kenyataan yang tidak selaras dengan mimpi. Tidak ada lagi kejutan dari bawaan yang dibawa ayah, tidak ada lagi amarah atas keributan yang aku buat, dan hangat serta tegasnya lindungan ayah yang sampai saat ini aku harapkan.


Kini hanya tinggal 1 bulan lagi menuju penghujung tahun, menuju 24 Desember. Tanggal dimana Sang Raja meninggalkan takhtanya, meninggalkan aku dan Sang Ratu untuk menjalani sekali lagi, istana kami masih ada dan masih berdiri tegak.

5 views0 comments

Comments


bottom of page