top of page

KISAH KITA

Writer's pictureSicika

Sebuah Alasan Pahit

Updated: Nov 29, 2018


Ana melangkahkan kakinya di sebuah koridor stasiun kereta api dengan pelantang telinga terpasang pada kedua indra pendengarnya. Langkahnya lemah, pandangannya sayu, kepalanya menunduk ke arah ponselnya seraya memastikan alamat yang akan dituju ketika ia tiba nanti. Satu tangannya menggenggam benda berwarna hitam metalik tersebut sementara tangan lainnya menyeret koper cukup besar miliknya. Suasana stasiun kala itu sibuk. Namun masih ada cukup ruang bagi Ana untuk menempatkan dirinya pada sebuah kursi panjang milik stasiun.


Perempuan berbaju hitam itu menerima sebuah panggilan dengan nama "Ibu" tertera pada layar ponselnya. Awalnya batinnya ragu untuk mengangkatnya. Namun nada panggilnya terus meronta hingga mengharuskan ibu jarinya mengarah pada tombol hijau. Suara lemah lembut mengalun dari seberang telepon. Nadanya melukiskan kerinduan yang mendalam serta sekelebat perasaan khawatir. Segelintir kalimat dilontarkan oleh bibirnya seraya menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan ekspresi datar. Dirinya menghembuskan napas dengan berat dan kembali menundukkan kepalanya usai mengakhiri panggilan.


Langkahnya terhenti pada sebuah rumah bercorak minimalis berwarna abu-abu. Jemarinya beralih mengetuk sebuah pintu dengan ritme pelan. Pintunya terbuka dan memperlihatkan sebuah senyuman manis dari raut wajah seseorang malaikat yang sekarang tengah berada di hadapan Ana. Pelukan hangat diberikan oleh perempuan tersebut sambil mengelus punggungnya pelan. Kemudian langkah kecilnya membawanya masuk ke dalam rumah yang tadi ia ketuk pintunya.


Matahari berada di ufuk barat sore itu. Nampak seperti sedang sibuk mengambil ancang-ancang untuk bersembunyi di balik lautan. Cahaya jingganya menembus kamar yang diberi hiasan lampu tumblr berwarna biru yang dimiliki Ana sejak berada di sekolah menengah pertama. Tubuh lesunya mulai menurunkan satu persatu barang bawaannya kemudian mendudukkan dirinya pada ujung tempat tidur. Sebuah pemandangan membuat kedua matanya menguncinya untuk beberapa saat sebelum tubuhnya kembali bangkit dan perlahan menuju sudut yang menjadi target indra penglihatannya. Beberapa bingkai foto berbentuk persegi yang turut andil dalam menghiasi kamar miliknya membuat matanya berbinar. Jemarinya tak mau kalah untuk menyentuh dan sedikit mengusap semua karya foto tersebut hingga tanpa sengaja membuat salah satu dari mereka terjatuh ke lantai dengan posisi terbalik. Sebuah tulisan tertera di sana berperan sebagai sebuah petunjuk bagi Ana untuk memecahkan teka-teki di dalamnya.


Langkahnya menuntunnya pergi ke sebuah tempat yang dulunya adalah rumah milik sebuah keluarga kecil. Puing-puing rumah itu kini sudah tertutup bangunan baru. Untuk beberapa saat kedua bola matanya menatap bangunan tersebut penuh binar. Namun dirinya tidak menangis. Air matanya seakan takut untuk membuat ingatan lama seorang gadis rapuh ini bangun dari hibernasi panjangnya. Seorang wanita paruh baya yang hendak membuka pagar sejenak menaruh perhatiannya pada Ana yang sedari tadi berdiri tegak di hadapan rumah berwarna krem kecoklatan dengan tatapan lurus. Seketika wanita tersebut menutup mulutnya dengan kedua tangannya seraya terkejut melihat Ana dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah.


Ia membuat penglihatannya mengedar ke setiap sudut rumah tersebut. Dengan kaki yang tertutup rapat serta telapak tangannya yang menelungkup pada kedua lututnya, ia duduk di sebuah sofa ruang tamu dengan kaku. Wanita tersebut kembali ke ruangan tempat Ana mendudukkan dirinya dengan tangan yang mengulur. Sebuah kotak berukuran kecil kini mendarat pada kedua telapak tangan Ana. Sejenak dirinya menatap kosong kotak tersebut dengan sebuah tanda tanya besar menghiasi kepalanya. Hatinya seakan ragu untuk membukanya namun pikirannya justru dilanda penasaran hebat. Ana memilih untuk memberi dirinya keputusan terakhir, yaitu untuk membuka kotak tersebut.


Sebuah walkman berada di posisi paling atas sementara beberapa lembar foto berada di bawahnya. Lembaran foto yang Ana temukan beberapa telah usang. Namun tidak membuat fotonya menjadi sukar untuk dilihat meski kualitasnya menurun. Sebuah perintah tertulis pada permukaan walkman yang kini berada di tangannya. Huruf demi huruf yang tercantum membuat gadis berambut hitam sebahu itu menyisipkan kedua buah pelantang telinga yang terhubung dengan walkman pada telinga miliknya sebelum membuka satu persatu lembaran foto tersebut. Sebuah suara milik seseorang yang tidak asing terdenger jelas dari dalam sana membuat dirinya setengah terkejut. Suara tersebut menuntun Ana pada tiap-tiap lembar foto yang tersusun rapi serta membuat beberapa kalimat penjelasan sementara sebuah bendungan kecil kini sudah terbentuk di bawah kelopak matanya. Tak butuh waktu lama untuk membuat bendungan tersebut pecah karena kini hal tesebut benar-benar terjadi. Dengan air mata yang sudah membasahi pipinya ia jadi teringat sebuah alasan pahit yang menjadi latar belakang mengapa ia meninggalkan kota ini.


"Ayah, kepergianmu untuk selamanya yang menjadi alasanku itu."


------------------------------

Pelantang telinga: Headset


-Author Wattpad namelesswilds, Wilda Aula.

@wildaulasabrina

8 views0 comments

Comments


bottom of page